Monday, October 10, 2011

My First Folding Bike

Awal tahun 2011 saya berniat untuk membeli sepeda. Banyak pilihan di benak saya baik dari MTB, Roadbike, Fixed Gear, BMX, Sepeda Roda 4, Jengki, Sepeda onta, Sepeda Lipat, Downhill, dll. Tapi saya cukup tahu diri dengan dana yang terbatas mengingat "tight money policy" yang tahun ini kami terapkan. Dengan Budget di bawah 3 Juta tentunya akan sulit untuk memenuhi semua keinginan , lain halnya jika dana saya tidak terbatas. Tidaklah bijak mengharapkan MTB Full Suspension dengan dana seperti itu. Tidaklah make sense mengharapkan memiliki Roadbike super ringan dengan groupset mumpuni.Sebenarnya saya bisa saja latah dengan membeli atau merakit sepeda fixed gear yang sering disebut Fixie, namun saya merasa sayang untuk membangun sepeda fixie dengan dana cukup tersebut, sayang tidak bisa Shifting girnya. Akhirnya karena bujuk rayu teman saya yang juga salah satu seller sepeda akhirnya pilihan jatuh pada Folding Bike aka Sepeda Lipat aka Seli. Dengan harga dua koma-an saya mendapatkan Seli dengan frame full Alloy. Tertulis di Stickernya Seli ini adalah made in china. Dengan ukuran ban 20" dan 7 Speed sebenarnya sepeda ini cukup lumayan untuk berkeliling kompleks. Sepeda ini di desain oleh orang Amerika yang pernah tinggal di Indonesia dan menikah dengan orang Indonesia. Lucunya lagi orang ini pernah tinggal 1 kompleks dengan saya.

Namun hanya selang beberapa bulan tangan saya sangat gatal untuk meng-oprek Jeng Nova (Demikianlah saya memberi julukan Seli Putih saya). Awal dari ketidakpuasan saya atas performa sepeda ini adalah saat saya menggunakan Jeng Nova untuk naik ke jalur sepeda KM 0 Sentul. Track KM 0 ini adalah jalur perbukitan yang memiliki trend menanjak sepanjang 12 KM. Alhasil dengan stamina yang pas-pasan saya berjibaku menggunakan Seli Standar mengarungi tanjakan ini. Sepeda yang biasa naik ke jalur ini biasanya MTB atau Roadbike. Hanya orang-orang "kurang waras" yang melakukan perjalanan di jalur ini dengan sepeda lipat karena ukuran ban yang membuat sepeda lipat lebih berat dibandingkan sepeda yang memiliki ban dengan diameter lebih besar.

Atas dasar pengalaman tersebut akhirnya saya upgrade Seli saya. Dengan modal 1 Juta Lebih akhirnya saya membeli part Sepeda dengan cara mencicil satu per satu, baik baru maupun bekas. Dari sadel, hand grip, Shifter, Brake Laver, Freehub & Hub, Velg/Rims, Ban, Crack, Pedal, Rantai, Sprocket, bel, dan lampu. Sampai akhirnya jadilah sepeda seperti sekarang. Seli yang sekarang memang tidak bisa dibilang mumpuni tapi cukuplah untuk melibas tanjakan yang halus. Sekarang jeng Nova sudah memiliki spek 2x8 Speed. Banyak yang menyayangkan kenapa hanya 2x8 Speed bukan 3x9 Speed?Jawaban saya cukup simpel, jeng Nova sudah mewakili kebutuhan saya saat ini. Saya justru sangat iri melihat sepeda single speed semacam sepeda kumbang, jengki, atau sepeda tua lainnya melibas tanjakan di pedesaan jawa Tengah. Kekuatan mereka bukan pada seberapa bagus sepedanya tapi semangat dan fisik yang primalah yang menentukan. Hasilnya adalah Jeng Nova sanggup menggapai Gunung Pantjar dengan mulus dan sering saya gunakan sebagai alat transportasi ke kantor (terutama kalau sedang bokek).


p.s Next saya akan cerita trip ke Gunung Pantjar dan History bagaimana saya suka sepeda


0 comments:

Post a Comment